Alhamdulillah bisa posting lagi.
BANDA ACEH, KOMPAS.com — Calon Presiden Muhammad Jusuf Kalla, yang juga Wakil Presiden RI, "menelanjangi" peranan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, baik di saat perundingan damai Pemerintah RI dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), maupun di masa sebelumnya saat menjadi Menko Politik dan Keamanan.
Dalam kampanye dialogis di hadapan sekitar 1.000 pendukung dan kader Partai Golkar di gedung Sarana Kebudayaan Anjung Monmata di Jalan SA Mahmudsyah, Banda Aceh, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Sabtu (13/6) siang tadi, tanpa menyebut dan juga menyebut "presiden" atau "pemimpin" saja, Kalla menceritakan hal itu dengan gamblang tentang peranan Presiden SBY.
Meskipun tanpa menyebut nama, publik bisa mengetahui siapa yang dimaksud oleh Kalla. Saat Kalla memaparkan tanpa menyebut nama, tetapi hanya menyebut "pemimpin" dan "presiden", Kalla menggambarkan penolakan presiden untuk menandatangani setiap masalah yang dirundingkan dalam perdamaian damai, seperti soal pendirian partai lokal.
"Coba periksa, tidak ada tanda tangan siapa pun kecuali tanda tangan saya di dalam perjanjian perdamaian Helsinki itu. Saya pernah minta untuk ditandatangani soal pendirian partai lokal, akan tetapi presiden tidak mau. Akhirnya, saya yang menandatangani dengan segala risiko setelah 10 kali membacakan Surat Yassin bersama istri saya," ungkapnya.
Kemudian, Kalla juga menyatakan soal presiden yang disebutnya hanya manggut-manggut saat dilapori soal perkembangan perundingan damai Aceh. "Semua yang saya lakukan terkait perundingan damai Aceh itu, sepengetahuan Presiden. Dan, itu saya laporkan. Waktu saya laporkan, beliau biasanya manggut-manggut. Pemimpin itu cukup mengangguk-angguk saja. Presiden kita bagus karena tidak pernah menolak, meskipun juga tidak pernah memberikan pengarahan (soal perundingan)," ungkap Kalla.
Kalla selanjutnya juga menceritakan peranan SBY di kala pemberlakuan Darurat Sipil di Aceh. Sebaliknya, ia juga seperti mengklarifikasi siapa yang menandatangani Darurat Sipil di Aceh pada waktu itu. "Bukan kami (yang keluarkan). Kami waktu itu Menko Kesra. Ada teman saya yang meneken darurat sipil waktu itu. Kalau Pak Wiranto (pasangannya sebagai cawapres), justru yang mencabut Daerah Operasi Militer (DOM), dan minta maaf atas Aceh," lanjut Kalla.
Pada bagian lain, Kalla juga menyinggung tentang hadiah nobel yang diharapkan seseorang terkait dengan perundingan damai di Aceh. "Hadiah yang tertinggi dari perundingan damai itu adalah yang datang dari Allah SWT. Bukan nobel. Tidak tahu, kalau ada orang yang mengharapkan hadiah nobel itu," demikian dikatakan Kalla
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar